(Wahid)
Hari rabu, di kamar, ada aku dan korek api. Musuhnya sang rokok telah menjadi abu, karena kubantu lawan dengan dihisap.
Aku tidak setuju dengan pepatah, "kalah jadi abu, menang jadi arang."
Karena sesungguhnya, korek yang menang melawan rokok tidak akan pernah menjadi arang.
(Itsnaan)
Ada yang mengetok pintu kamar.
"Salam. Hilman, apakah kamu di dalam?"
"Salam. Iya."
"Bolehkah aku masuk?"
"Silahkan."
"Sudah besar ya.."
"Alhamdulillah."
"Kuliah atau kerja?"
"Kuliah."
"Sudah lulus?"
"Belum. Doakan segera."
"Amiin. Tuhan dengar."
"Amiin."
"......"
"Kenapa diam?"
"Sudah lama tidak bertemu."
"Memang."
"Ingatlah, Hilman. Sembah Tuhan tanpa berhenti."
"Kenapa?"
"Karena kau butuh."
"Bagaimana jika aku atheis?"
"Tidak mungkin, garismu tidak patah-patah."
"Iya."
(Tsalaatsah)
"Jadi, dia datang lagi?"
"Baru saja."
"Kuat?"
"Semoga."
"Jika tidak kuat, aku akan bantu temanku mengangkatmu."
"Tergantung surat itu. Berapa lama lagi?"
"Kenapa bertanya?"
"Agar bersiap."
"Aku tidak tahu."
"Aku percaya kau akan mengatakan itu."
"Tidak seru jika kau mengetahui kapan waktumu."
"Katakanlah bagaimana tempat keren itu?"
"Tempat keren hanya bisa dimasuki oleh orang-orang keren."
"Apakah aku termasuk ke dalam golongan orang-orang keren?"
"Belum sepenuhnya."
"Akan aku usahakan agar lebih keren lagi."
"Semoga."
(Arba'ah)
"Ingatlah, Hilman."
"Apa?"
"Kau bisa menjadi keren melebihi aku atau bisa menjadi tidak keren melebihi sesuatu yang tidak diberikan ke-keren-an. Bahkan lebih buruk."
"Aku tahu itu dari buku panduan menjadi keren."
"Sudah baca semua?"
"Belum."
"Bacalah dan cobalah. Agar kerenmu sempurna."
"Semoga."
(Khamsah)
"Aku mau pergi dulu."
"Kemana?"
"Berkunjung ke calon orang keren di pinggiran Pakistan."
"Loh, kupikir kau hanya regional Asia Tenggara."
"Tidak, sekarang aku bekerja di pusat. Lain waktu ngobrol lagi."
"Baiklah."
"Salam."
"Salam."
Harum bunga kesturi hilang terbawa angin.
Hari rabu, di kamar, ada aku dan korek api. Musuhnya sang rokok telah menjadi abu, karena kubantu lawan dengan dihisap.
Aku tidak setuju dengan pepatah, "kalah jadi abu, menang jadi arang."
Karena sesungguhnya, korek yang menang melawan rokok tidak akan pernah menjadi arang.
(Itsnaan)
Ada yang mengetok pintu kamar.
"Salam. Hilman, apakah kamu di dalam?"
"Salam. Iya."
"Bolehkah aku masuk?"
"Silahkan."
"Sudah besar ya.."
"Alhamdulillah."
"Kuliah atau kerja?"
"Kuliah."
"Sudah lulus?"
"Belum. Doakan segera."
"Amiin. Tuhan dengar."
"Amiin."
"......"
"Kenapa diam?"
"Sudah lama tidak bertemu."
"Memang."
"Ingatlah, Hilman. Sembah Tuhan tanpa berhenti."
"Kenapa?"
"Karena kau butuh."
"Bagaimana jika aku atheis?"
"Tidak mungkin, garismu tidak patah-patah."
"Iya."
(Tsalaatsah)
"Jadi, dia datang lagi?"
"Baru saja."
"Kuat?"
"Semoga."
"Jika tidak kuat, aku akan bantu temanku mengangkatmu."
"Tergantung surat itu. Berapa lama lagi?"
"Kenapa bertanya?"
"Agar bersiap."
"Aku tidak tahu."
"Aku percaya kau akan mengatakan itu."
"Tidak seru jika kau mengetahui kapan waktumu."
"Katakanlah bagaimana tempat keren itu?"
"Tempat keren hanya bisa dimasuki oleh orang-orang keren."
"Apakah aku termasuk ke dalam golongan orang-orang keren?"
"Belum sepenuhnya."
"Akan aku usahakan agar lebih keren lagi."
"Semoga."
(Arba'ah)
"Ingatlah, Hilman."
"Apa?"
"Kau bisa menjadi keren melebihi aku atau bisa menjadi tidak keren melebihi sesuatu yang tidak diberikan ke-keren-an. Bahkan lebih buruk."
"Aku tahu itu dari buku panduan menjadi keren."
"Sudah baca semua?"
"Belum."
"Bacalah dan cobalah. Agar kerenmu sempurna."
"Semoga."
(Khamsah)
"Aku mau pergi dulu."
"Kemana?"
"Berkunjung ke calon orang keren di pinggiran Pakistan."
"Loh, kupikir kau hanya regional Asia Tenggara."
"Tidak, sekarang aku bekerja di pusat. Lain waktu ngobrol lagi."
"Baiklah."
"Salam."
"Salam."
Harum bunga kesturi hilang terbawa angin.