Kita tahu secara intelektual hal ini, namun mengapa kita tetap bersedih ketika kehilangan?
Seandainya kita mau melihat lebih dalam, bukanlah kita yang sedih, melainkan ego kitalah yang sedih.
Ego sudah menempel sebegitu eratnya dan membentuk bangunan kokoh dan tinggi,sehingga kita tidak mampu melihat siapa sejatinya diri ini sekaligus tidak sadar bahwa kita bukanlah ego.
Di saat orang membeli sebuah benda, katakanlah gadget terbaru dan termahal, maka ego melambung, karena ia menyangkutkan dirinya pada sesuatu yang lebih hebat dari dirinya, yaitu gadget itu.
Ketika gadget itu hilang maka kita merasa sedih, kita sedih bukan karena benda itu hilang, namun 'diri' kita yang melekat pada gadget itu yang hilang, dengan kata lain kita bukan mencari gadget itu tapi mencari diri kita yang hilang bersama gadget itu.
Semakin hari semakin saya dituntun oleh berbagai peristiwa yang mengingatkan diri ini bahwa pertumbuhan dunia tak lain adalah pertumbuhan ego, sementara pertumbuhan jiwa seringkali berkebalikan dengan pertumbuhan kehidupan yang diidamkan kebanyakan manusia.
Kita hanya berpindah dari kemelekatan satu kemelekatan yang lain, dari mulut buaya pindah ke mulut harimau, saya sering mengira diri saya lebih sadar namun kenyataanya hanyalah perpindahan dari ego yang kasar menjadi lebih halus, apapun jenisnya, tetaplah ego.
Dulu saya berpikir berbagi itu adalah hal yang mulia, tangan di atas itu lebih baik. Namun sekarang, kesadaran yang ada mengatakan bahwa rasa bahagia yang muncul itu berasal dari ego saya yang merasa lebih hebat, lebih superior dibanding mereka yang menerima.
Dan suatu hari sangat mungkin sekali bahwa kesadaran menuntunku untuk melihat bahwa kalimat diatas ini juga merupakan ego yang lebih halus.
Ada seseorang yang sangat sederhana, ia menolak untuk memiliki harta berlebih, ia melekat pada 'Ide' sosok sederhana yang ia inginkan, 'Kalau bukan sederhana bukanlah dia' katanya.
Sebuah kemelekatan yang sungguh halus.
Kesederhanaan haruslah dibangun dari pemahaman yang menyeluruh yang dipimpin oleh pikiran yang sederhana selanjutnya menjalar ke penampilan, bukan sebaliknya.
Kita tidak bisa serta merta menjadi welas asih seperti Nabi Muhammad hanya dengan mencukur kumis atau berpakaian ala bangsa Arab, atau mempunyai kemampuan memaafkan ala Jesus hanya dengan berperawakan kurus dan berambut panjang.
Kita perlu berlatih sampai mempunyai kesadaran setinggi Gandhi untuk menjadi Gandhi, pemahaman sekelas Bunda Theresa untuk mampu melayani kaum papa seperti yang ia lakukan.